Mudik selama ini menjadi motor penggerak perekonomian daerah atau pedesaan. Hal itu terjadi karena selama aktifitas mudik libur lebaran, putaran uang di daerah pedesaan akan cukup tinggi.
Pengamat Sosial Sumatera Utara, Azrai, Jumat (15/6), mengatakan, mudik lebaran yang sudah menjadi budaya secara turun menurun para kaum urban yang pulang kampung ke daerahnya membawa pola pikir dan dampak ekonomi.
“Budaya mudik saat momen Hari Raya Idul Fitri adalah salah satu ajang suatu daerah untuk memaksimalkan potensinya, misalnya di sektor UMKM, industri rumahan, industri kreatif, peternakan dan pertanian,” katanya.
Aktifitas mudik dapat meningkatkan ekonomi daerah karena adanya aliran redistribusi pendapatan dari kota ke desa.
Bagaimana dampak larangan mudik pada ekonomi daerah?
Seperti tahun lalu, tahun ini Pemerintah resmi melarang mudik lebaran 2021 yang jatuh pada 6-17 Mei 2021. Keputusan diambil dengan mempertimbangkan risiko penularan Covid-19.
Ekonom Institute for Development for Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan larangan itu berdampak pada turunnya pertumbuhan ekonomi di kuartal II/2021 yang awalnya sempat diperkirakan naik.
Bhima memperkirakan pertumbuhan ekonomi kuartal II/2021 masih akan negatif. Menurutnya, titik kritis berada pada kebijakan pemerintah yang dianggap maju-mundur.
“Kebijakan plinplan memengaruhi ekspektasi dunia usaha, khususnya sektor tertentu yang sebelumnya berharap ada kenaikan penjualan saat mudik diperbolehkan,” jelas Bhima kepada Bisnis, Jum’at (26/3/2021).
Dia mencontohkan industri otomotif yang awalnya difasilitasi pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) dan pengusaha fesyen yang sudah menyiapkan bahan baku dan desain.
Menurut Bhima, mereka berpotensi menanggung rugi karena tidak adanya mudik.
Sebaliknya, lembaga riset Bahana Macro Data Flash justru menyimpulkan larangan mudik tidak perlu ditanggapi berlebihan.
Berdasarkan riset yang mereka lakukan, pelarangan mudik tahun ini justru dapat menahan permintaan dan menjaga uang mengalir di Jakarta, di mana pertumbuhan ekonomi cukup tertahan.
“PDB Jakarta berbobot 20 persen secara total dari PDB Indonesia, pelarangan mudik mungkin akan menghalangi orang-orang untuk bepergian ke luar Jakarta, tetapi tidak akan menahan mereka dari makan di luar atau melakukan pembelian di dalam kota, terlebih melihat perkembangan Covid-19 yang penuh harapan,” ungkapnya dalam riset tersebut.
Meski begitu, riset tersebut juga mengungkapkan pelarangan mudik diperkirakan akan tetap berdampak pada turunnya pertumbuhan ekonomi, terutama di daerah atau di pedesaan.
Untuk mengurangi dampak ekonomi pelarangan mudik, maka pemerintah harus memberikan ruang-ruang alternatif untuk ‘dana menganggur’ yang seharusnya bergerak ke perekonomian daerah.
Menurut Bhima, untuk saat ini cara kompensasi untuk larangan mudik adalah tetap mendorong masyarakat tetap berbelanja walau mereka tidak bisa bepergian.
Salah satunya dengan mendorong pekan belanja nasional secara online atau daring.
Dengan asumsi pegawai negeri sipil dan pegawai swasta dapat tunjangan hari raya, tapi tidak mudik, maka membuat tingkat konsumsi atau belanja masyarakat rendah.
“Perputaran uang terpusat di daerah Jabodetabek, maka jalan untuk dorong konsumsi adalah mendorong masyarakat belanja online besar-besaran,” ujar Bhima.
Menurut Bhima, kalau perlu pemerintah juga bisa mensubsidi ongkos kirim pembelian barang secara daring, khusus pengiriman barang keluar Jabodetabek.
Pada periode Lebaran juga banyak masyarakat yang mau mengirimkan uang ke keluarganya di daerah. Untuk itu pemerintah bisa memberi insentif gratis biaya transfer antarrekening yang berbeda domisili melalui bank milik negara. (mh/dari berbagai sumber)
Leave a Reply
View Comments