Prof. Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang kini jadi anggota DPD dari DKI Jakarta, menilai banyak partai politik atau parpol yang muncul pada perjalanan reformasi, malah terjebak pada oligarki dan politik dinasti.
Jimly menyebut, ada masalah di internal partai sehingga hal tersebut justru menghambat demokrasi di Indonesia.
“Ada problem internal di dalam partai-partai, partai yang lahir di era reformasi,” kata Jimly dikutip dari Antara, Senin (24/8/2020).
1. Partai yang menjunjung demokrasi tak sesuai dengan praktik di lapangan
Jimly menjelaskan, reformasi merupakan upaya untuk membalikkan keadaan yang kecenderungannya negatif agar kembali baik, seperti Orde Lama dikoreksi Orde Baru, kemudian Orde Baru dikoreksi oleh Reformasi setelah 32 tahun berjalan.
“Memasuki perjalanan reformasi, kata dia, muncul partai-partai yang mengusung ‘democracy of law‘, tetapi dalam praktiknya justru berbeda,” ujarnya.
2. Oligarki dan politik dinasti terjadi di parpol yang dipimpin oleh tokoh tua
Menurutnya, kebanyakan partai masih saja dipimpin oleh tokoh-tokoh tua sehingga mengalami gerontokrasi. Jimly mengkhawatirkan, kecenderungan ini menjadikan partai terjebak karena pergantian kepemimpinan di parpol semakin panjang periodesasinya.
Meski banyak tokoh muda yang sekarang menjabat sebagai menteri, lanjutnya, pada dasarnya parpol dipimpin golongan tua yang menentukan, para menteri itu hanyalah sekedar petugas partai.
“Sementara, partai mengalami gerontokrasi dan di dalam dirinya berubah menjadi dinasti-dinasti politik. Muncul keluarga-keluarga tertentu yang berkuasa dan menjadi oligarki-oligarki politik yang makin membuat demokrasi semakin mahal,” jelasnya.
3. Masyarakat diminta turut berperan dalam perubahan
Jimly mengajak seluruh masyarakat tidak berpikir pragmatis, tetapi berperan memajukan bangsa melalui berbagi ide maupun impian untuk Indonesia yang lebih baik.
“Kalau kita biarkan oligarki politik itu dengan sikap pragmatis, kita membiarkan dinasti politik yang terjadi sekarang terus berkembang. Saat ini semua orang semangatnya hanya mengambil, rebutan jabatan mana yang bisa diambil, menjadi medioker, generasi pengambil, generasi peminta-minta, generasi penerima. Kita tidak akan menjadi pemberi dan penyumbang kemajuan peradaban bangsa. Lambat laun tapi pasti, bangsa ini akan hancur,” urainya. (mh/idstimes) – ilustrasi: Kompasiana.com
Cukup fair juga meskipun “dinasti” yg dimaksud justru terlahir dari proses demokrasi itu sendiri dalam artian bahwa mereka adalah sosok yg turut bertarung dalam pilkada secara sah dan konstitusional. Jika demikian adanya, apakah kemudian bisa dikategorikan ke dalam penyimpangan cita2 Reformasi?
Pun jika kehadiran tokoh2 senior dalam parpol dianggap sebagai suatu penghambat, berarti kita hanya melihat bahwa keberlangsungan hidup suatu partai hanya ditentukan oleh “sosok” dibandingkan “ide, gagasan & terobosan”. Merujuk pada Malaysia, dimana Mahathir msh mampu menjadi PM pada usia 92 tahun, membuktikan bahwa “IDE” lebih dibutuhkan daripada “USIA”.
Setuju, jika “dinasti” itu muncul dari hasil kontestasi politik yang fair tentu baik-baik saja karena hal itu tetap membuka peluang bagi siapa saja untuk berkompetisi. Menjadi tidak fair jika dinasti yang akhirnya mendominasi jabatan-jabatan politik dan publik adalah hasil hegemoni kelompok-kelompok elit dengan kekuatan dana mereka yang dalam praktik pemilu melakukan segala cara, termasuk money politic secara besar-besaran demi memenangi kontestasi. Disini, ide dan gagasan tidak lagi berarti.
setuju dengan pendapat Anda