Yuk Kenali Kota Palembang untuk Tumbuhkan Rasa Sayang

Tak kenal maka tak sayang, begitu pameo berkata. Agar kita bisa menyayangi kota Palembang, maka kita perlu mengenalnya terlebih dahulu.

Kota Palembang merupakan salah satu kota tertua di Indonesia, setidaknya usianya saat ini sudah 1337 tahun berdasarkan prasasti Sriwijaya yang dikenal sebagai prasasti Kedudukan Bukit yang berangka tahun 16 Juni 682.

Pada saat itu, di tempat yang sekarang menjadi kota Palembang oleh penguasa Sriwijaya didirikan Wanua. Menurut topografinya, kota ini dikelilingi oleh air, bahkan terendam oleh air. Air tersebut bersumber dari sungai dan rawa, juga air hujan. Bahkan saat ini kota Palembang masih memiliki lahan 52,24 % tanah yang yang tergenang oleh air (data Statistik 1990).

Mungkin karena kondisi itulah maka nenek moyang orang-orang kota ini menamakan kota ini sebagai Pa-lembang dalam bahasa melayu Pa atau Pe sebagai kata tunjuk suatu tempat atau keadaan; sedangkan lembang atau lembeng artinya tanah yang rendah, lembah akar yang membengkak karena lama terendam air (menurut kamus melayu), sedangkan menurut bahasa melayu-Palembang, lembang atau lembeng adalah genangan air. Jadi Palembang adalah suatu tempat yang digenangi oleh air.

Kondisi alam ini bagi nenek moyang orang-orang Palembang menjadi modal mereka untuk memanfaatkannya. Air menjadi sarana transportasi yang sangat vital, ekonomis, efisien dan punya daya jangkau dan punya kecepatan tinggi. Selain kondisi alam, juga letak strategis kota ini yang berada dalam satu jaringan yang mampu mengendalikan lalu lintas antara tiga kesatuan wilayah:

  • Tanah tinggi Sumatera bagian Barat, yaitu : Pegunungan Bukit Barisan.
  • Daerah kaki bukit atau piedmont dan pertemuan anak-anak sungai sewaktu memasuki dataran rendah.
  • Daerah pesisir timur laut.

Ketiga kesatuan wilayah ini merupakan faktor yang sangat mementukan dalam pembentukan pola kebudayaan yang bersifat peradaban. Faktor yang berupa jaringan dan komoditi dengan frekuensi tinggi sudah terbentuk lebih dulu dan berhasil mendorong manusia setempat menciptakan pertumbuhan pola kebudayaan tinggi di Sumatera Selatan. Faktor inilah yang membuat Palembang menjadi ibukota Sriwijaya, yang merupakan kekuatan politik dan ekonomi di zaman klasik pada wilayah Asia Tenggara. Kejayaan Sriwijaya terjadi pada era Kesultanan Palembang Darusallam pada zaman madya sebagai kesultanan yang disegani dikawasan Nusantara.

Sriwijaya, seperti juga bentuk-bentuk pemerintahan di Asia Tenggara lainnya pada kurun waktu itu, bentuknya dikenal sebagai Port-polity. Pengertian Port-polity secara sederhana bermula sebagai sebuah pusat redistribusi, yang secara perlahan-lahan mengambil alih sejumlah bentuk peningkatan kemajuan yang terkandung di dalam spektrum luas.

Pusat pertumbuhan dari sebuah Polity adalah entreport yang menghasilkan tambahan bagi kekayaan dan kontak-kontak kebudayaan. Hasilnya diambil oleh para pemimpin setempat. (dalam istilah Sriwijaya sebutannya adalah datu), dengan hasil ini merupakan basis untuk penggunaan kekuatan ekonomi dan penguasaan politik di Asia Tenggara.

Ada tulisan menarik dari kronik Cina Chu-Fan-Chi yang ditulis oleh Chau Ju-Kua pada abad ke 14, yang menceritakan tentang Sriwijaya sebagai berikut: negara ini terletak di Laut Selatan, menguasai lalu lintas perdagangan asing di Selat. Pelabuhannya menggunakan rantai besi untuk menahan bajak-bajak laut yang bermaksud jahat. Jika ada perahu-perahu asing datang, rantai itu diturunkan. Setelah keadaan aman kembali, rantai itu disingkirkan. Perahu-perahu yang lewat tanpa singgah di pelabuhan dikepung oleh perahu-perahu milik kerajaan dan diserang. Semua awak-awak perahu tersebut berani mati. Itulah sebabnya maka negara itu menjadi pusat pelayaran.

Tentunya ada banyak cerita, legenda bahkan mitos tentang Sriwijaya. Pelaut-pelaut asing seperti dari Cina, Arab dan Parsi, mencatat seluruh perisitiwa atau kisah-kisah yang mereka lihat dan dengar. Jika pelaut-pelaut Arab dan Parsi, menggambarkan keadaan sungai Musi, dimana ada kota Palembang, adalah bagaikan kota di Tigris.

Kota Palembang digambarkan mereka sebagai kota yang sangat besar, dimana jika dimasuki kota tersebut, kokok ayam jantan tidak berhenti bersahut-sahutan (dalam arti kokok sang ayam mengikuti terbitnya matahari). Kisah-kisah perjalanan mereka penuh dengan keajaiban 1001 malam.

Pelaut-pelaut Cina mencatat lebih realistis tentang kota Palembang, dimana mereka melihat bagaimana kehiduapan penduduk kota yang hidup diatas rakit-rakit tanpa dipungut pajak. Sedangkan para pemimpin hidup berumah di tanah kering di atas rumah yang bertiang. Mereka mengeja nama Palembang sesuai dengan lidah dan aksara mereka. Palembang disebut atau diucapkan mereka sebagai Po-lin-fong atau Ku-kang (berarti pelabuhan lama).

Setelah mengalami kejayaan di abad ke-7 dan 9, maka di kurun abad ke-12 Sriwijaya mengalami keruntuhan secara perlahan-lahan. Keruntuhan Sriwijaya ini disebabkan karena persaingan dengan kerajaan di Jawa, pertempuran dengan kerajaan Cola dari India dan terakhir kejatuhan ini tak terelakkan setelah bangkitnya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara.

Kerajaan-kerajaan Islam yang tadinya merupakan bagian-bagian kecil dari kerajaan Sriwijaya, berkembang menjadi kerajaan besar seperti yang terjadi di Aceh dan Semenanjung Malaysia. (Sumber: Pelembang.go.id)